Rabu, 24 Maret 2010

Musik Bambu Enrekang Ditampilkan Kembali thn 2006 Posted by enrekang under Sosial Budaya dan Pariwisata [8] Comments


Musik Bambu Enrekang Ditampilkan Kembali thn 2006
Posted by enrekang under Sosial Budaya dan Pariwisata
[8] Comments

Musik bambu, alat musik tradisional Suku Massenrengpulu, Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan, yang terancam punah, telah ditampilkan kembali pada Gelar Budaya Sulsel 2006. [Pembaruan/M Kiblat Said]

Musik Bambu

Surugana Bambapuang atau surga dari Gunung Bambapuang. Itulah lagu yang melukiskan keindahan gunung yang berada sekitar 3.400 meter dari permukaan laut (dpl) dan menjadi lagu khas Suku Massenrengpulu yang mendiami Kabupaten Enrekang, Provinsi Sulawesi Selatan.

Lagu itu mengalun indah lewat konser musik bambu yang dimainkan kelompok tani serta siswa sekolah dasar dan menengah dari berbagai kecamatan di Kabupaten Enrekang, saat Gelar Budaya Sulawesi Selatan 2006 di Lapangan Abu Bakar Lambogo, di kaki Gunung Bambapuang, tahun lalu. Musik bambu Enrekang yang terancam punah itu, berhasil ditampilkan kembali dengan baik.

Masyarakat Suku Massenrengpulu (Maiwa, Duri dan Enrekang) menyebut musik bambu sebagai musik bas, semua peralatannya terbuat dari bahan bambu pelang atau petung, bentuknya menyerupai peralatan musik angklung dari Jawa Barat.

Angklung dan musik bas dimainkan secara berkelompok. Hanya saja bedanya, alat musik angklung mengandalkan bunyi suara bamboo, sedangkan musik bas adalah alat musik tiup. Alat tiup itu pun terus berkembang dan menjadi sarana hiburan rakyat di pedalaman Enrekang, dilengkapi alat tabuh yang dibuat dari kulit sapi dan dimainkan beramai-ramai pada saat upacara adat, menyambut musim panen atau pesta rakyat. “Kalau ada sunatan atau pengantin, alat ini masih sering dipakai sebagai hiburan, seperti saat perkawinan Andi Jaya Sose, seorang bangsawan Enrekang,” kata Manta. (63) pelatih musik bas dari Desa Tampo, Kecamatan Anggeraja.

Menurut Manta, dalam legenda rakyat Massenrengpulu alat itu konon ditemukan oleh seorang pengembala kerbau. Awalnya ia membuat alat tiup dari batang merang padi yang dimainkan di atas kerbau sambil menunggui padi di kaki Gunung Bambapuang. Sang pengembala kemudian mengganti alat tiup dari batang merang itu dengan bambu dan terciptalah suling bamboo dengan suara yang lebih merdu dari suara yang ditimbulkan batang merang padi.

Pada zaman pendudukan Belanda, musik bas mengalami perkembangan, meskipun teknik pembuatannya sangat tradisional. Aturan solmisasinya semakin sempurna karena nadanya diselaraskan dengan menggunakan standar suara garpu tala. Selain suling, peralatan musik itu dilengkapi alat bas terbuat dari bambu berukuran sedang. Untuk bas A terdiri nada do, mi, sol, bas B nada fa, la. Sedangkan bas C terdiri dari nada re dan si.

Menurut Manta, musik tersebut dapat mengiringi banyak lagu, hanya saja memiliki kelemahan ketika dimainkan untuk lagu minor. “Bukan tidak bisa, namun rumit untuk dikoor seperti sopran, tenor dan alto,” ujarnya.

Media Pemersatu

Musik bambu telah memperkaya khasanah budaya Suku Massenrengpulu, kelompok musik itu masih bertahan dan berfungsi sebagai media pemersatu serta hiburan di kalangan kelompok tani Bolang, Sipakanana, Biak, Dolog dan Tampo. “Hampir semua anggota kelompok tani bisa memainkan alat musik ini,” kata Manta.

Perkembangan musik bambu di Enrekang tak lepas dari peranan besar seniman musik bambu dari Manado dan Ambon yang juga memiliki musik khas dari bambu dan

Perkembangannya telah jauh lebih maju. Mereka datang ke Bumi Massenrengpulu membagi ilmunya, sekalian mengajarkan cara membuat alat musik yang nadanya sempurna.

Sayangnya, kata Manta, modernisasi saat ini menjadi ancaman punahnya musik bambu tersebut. Sedikit sekali generasi muda yang berminat untuk mempelajarinya sebagai musik warisan leluhur yang harus dipertahankan, banyak yang menganggap musik kampungan. Meskipun begitu, Manta dan beberapa pelatih musik bambu lainnya di Enrekang merasa lega karena Bupati Enrekang, Ir Latinro Latunrung sudah menginstruksikan semua sekolah dasar dan sekolah menengah di daerah itu untuk menjadikan musik bambu sebagai pelajaran ekstra.

Direktorat Tradisi Direktur Jenderal (Dirjen) Nilai Seni dan Budaya Film Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, Sri Hartanto terlihat gembira saat menyaksikan penampilan musik bambu itu, pada Gelar Budaya Sulawesi Selatan 2006, tahun lalu. Ia bahkan meminta pemerintah daerah untuk melakukan agenda rutin perlombaan musik bambu untuk melestarikan musik tradisional tersebut. [Pembaruan/M Kiblat Said]

0 komentar:

Posting Komentar

BThemes

Religious Myspace Comments

Sponsor

picture widgets
Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More